Ketahanan Nasional “Baru”

pengantar: berikut ini adalah tulisan dari Bambang Utomo dari Griya Gagasan Cianjur, yang dikirimkan pada saya setahun yang lalu untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional 2010. Saya post tulisan ini di sini sebagai bentuk penghargaan saya atas harapan beliau pada saya yang disampaikannya melalui email pengantar tulisan ini.

 

Ketahanan Nasional “Baru”

(Antara ANCAMAN dan PELUANG)

Oleh: Bambang Utomo

SETIAP kali kita bicara soal Ketahanan Nasional (Tannas), maka pada umumnya perhatian kita dibawa ke hal-hal yang bersifat ‘ancaman’. Syahdan, semakin diperincilah aneka-ragam ancaman tersebut, baik yang datang dari dalam, luar negeri maupun gabungan dari keduanya. Pada gilirannya, perhatian dan waktu berpikir kita pun nyaris habis disibukkan oleh upaya mencari cara-cara bagaimana menanggulangi berbagai ancaman tersebut; tak tersisa lagi energi dan waktu untuk memikirkan serta melakukan hal-hal konstruktif lain.

SWOT

Namun sebelum sibuk mengikuti alur pikiran di atas lebih jauh, mendadak saya terilhami oleh salah satu teknik berpikir yang bernama Analisis SWOT (Strengh, Weakness, Opportunity & Threath) yang banyak dipakai di dunia manajemen. Seperti terwakili dari akronimnya, teknik ini bukan cuma bicara soal ANCAMAN, tetapi juga PELUANG. Jelas, keduanya punya perbedaan yang hakiki – juga kalau hendak kita kaitkan dengan konsep Tannas.

Ancaman (Threath), biasanya dihubungkan dengan potensi negatif atau kerugian yang belum terjadi atau bakal datang, sementara Kelemahan (Weaknes) lebih merupakan kondisi menetap yang hadir pada internal sistem atau pihak yang bersangkutan. Dan biasanya, obyek atau sasaran ancaman itu memang titik-titik lemah yang ada pada diri suatu pihak. Sementara Peluang (Opportunity) lebih berarti potensi positif atau menguntungkan yang mungkin kita raih – hanya apabila kita mau mengupayakannya. Dan umumnya, peluang itu erat hubungannya dengan kondisi Kekuatan (Strength) yang kita miliki. Keduanya, Kelemahan-Ancaman serta Kekuatan-Peluang, senantiasa hadir pada semua kesatuan sistem: seorang individu, sekelompok masyarakat, sebuah organisasi dan tak terkekecuali suatu bangsa atau negara.

Menurut hemat saya, ada baiknya pasangan konsep SWOT di atas juga kita coba terapkan di bidang Ketahanan Nasional (Tannas), paling tidak sebagai semacam olah-pikir untuk memperluas wawasan kita. Mungkin dari sini dapat kita temukan pendekatan alternatif dan konsep-konsep terobosan yang bermanfaat. Sebuah paradigma Ketahanan Nasional Baru yang bersifat melengkapi, bukan hendak mengganti, konsep Tannas yang kiranya dominan dianut di negeri kita sampai hari ini. Siapa tahu, paradigma alternatif ini memang sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan perubahan situasi dan kondisi dunia yang selalu berubah di masa depan. Demi memajukan; bukan sekadar mempertahankan eksistensi NKRI kita tercinta.

Untuk itu, berikut ini ijinkanlah saya menjelajahi sejumlah alternatif peluang yang bersumberkan aneka kekuatan yang dimiliki NKRI. Sekali lagi, arah berpikir ini sengaja saya pilih bukan karena menganggap pengenalan tentang berbagai kelemahan-dan-ancaman yang ada itu tidak penting (sebagian bahkan sudah ada yang tergolong genting!), tetapi berhubung pembahasan tentangnya sudah begitu banyak diwacanakan orang sejauh ini; sementara peluang-dan-kekuatan, kalau pun ada, kiranya masih jarang terpikirkan.

 

Geografis-Teritorial

Pertama, dari segi Geografis-Teritorial, kita punya belasan ribu pulau yang sebagian besar belum didayagunakan, masih menganggur, bahkan ratusan di antaranya belum diberi nama–termasuk belum didaftarkan hak kepemilikkannya ke PBB–sampai sekarang! Bayangkan, betapa keuntungan yang dapat kita raih apabila lahan-lahan kosong itu bisa digarap secara produktif. Caranya? Misalnya melalui: gerakan “Tebar Jutaan Ternak” serta “Tanam Milyaran Pohon” (yang bernilai ekonomis tinggi, dapat tumbuh berkembang-biak relatif tanpa dipelihara serta cepat bisa dipanen, misalnya), disewakan kepada pihak swasta secara sangat selektif (demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat), dikaitkan dengan program transmigrasi massal yang bertanggungjawab (bukan ‘memindahkan kemiskinan’), dan lain sebagainya.

Kemudian, kalau ada di antara pulau-pulau itu yang lokasinya kebetulan berbatasan dengan negeri jiran dan lalu menimbulkan sengketa kepemilikan, mari kita cari solusi yang saling menguntungkan (win-win) bagi kedua negara. Umpamanya dengan menggarapnya bersama berdasarkan prinsip bagi-hasil dan pikul-risiko yang adil. Jangan lalu kita serahkan keputusannya kepada Mahkamah Internasional. Bisa “hilang” pulau-pulau terluar kita nanti seperti halnya Sipadan dan Ligitan belum lama ini! Ya, seperti umum diketahui, karena adanya tarik-menarik kepentingan negara superpower di dalamnya, vonis pengadilan tertinggi se-dunia tersebut pun tidak selalu mencerminkan keadilan bagi negara-negara yang bersengketa.

Setelah bicara soal pulau, kita perlu juga memperhatikan wilayah perairan di antara pulau-pulau itu yang merupakan sumberdaya akuatik NKRI yang teramat kaya. Di dalamnya terdapat aneka jenis ikan, terumbu karang serta biota laut lain yang sebagian besar belum kita manfaatkan maupun lindungi dari penjarahan (Illegal Fishing) oleh pihak asing; belum terhitung berbagai bahan mineral yang terkandung di dasar laut dalam (Deep Sea Mining). Bahkan di situ pun boleh kita prediksi masih banyaknya ”Harta Karun” berupa Benda Berharga Eks-Kapal Tenggelam yang baru sebagian kecil tergarap—serta banyak dijarah orang–sejauh ini! Dan seperti diketahui, untuk mampu menjangkau seluruh negara kepulauan yang teramat luas kita miliki, kita belum mampu mengembangkan armada maritim-AL, perikanan, pelayaran antarpulau maupun lintas-samudra yang memadai.

Masih di bidang yang sama, tapi kali ini saya ingin menengok ke atas, ke ruang udara atau antariksa milik NKRI. Bukankah posisi negeri kita yang 13,5 % memanjang di garis Khatulistiwa punya berbagai keunggulan spesifik yang belum dimanfaatkan secara optimal? Bagaimana dengan ‘hak parkir’ satelit di atas wilayah NKRI? Sudahkah semua pengguna satelit yang ada terdaftar dan membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) jasa telekomunikasi, penggunaan frekuensi radio di samping Universal Service Obligation (USO) lainnya? Lalu apakah asas timbal-balik yang saling menguntungkan antara pengguna satelit asing dengan domestik sudah terwujud? Terakhir, mengingat nilai strategik sumberdaya antariksa ini bagi kepentingan telekomunikasi, jangan hendaknya sebagian besar saham Badan Usaha Milik Negara (baik BUMN induk maupun anak perusahaannya) yang menangani bidang ini kita jual ke pihak asing – apa pun dalihnya!

 

Energi Alternatif

Ke Dua, di tengah harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dunia yang tidak menentu dewasa ini,  upaya konsepsional dan terencana untuk memanfaatkan sumber energi alternatif di negeri kita semakin mendesak. Tenaga Sinar Matahari, Putaran Angin, Aliran Air, Panas Bumi, Uap Sampah dan ’Tanaman Energi’ yang potensinya berlimpah masih menunggu kehendak politik yang serius serta kebijakan ekonomi yang tegas dari pemerintah untuk memanfaatkannya. Salah satu contoh yang potensinya sangat menantang di mata saya adalah, umpamanya, tanaman Jarak Pagar (Jatropha Curcas Lynn). Apabila dijadikan gerakan tanam ’Satu Trilyun Pohon’ (sebagai pagar pekarangan rumah penduduk, di kiri-kanan semua jalan raya maupun Tol, di lahan-lahan terlantar maupun menjadi tanaman tumpang-sari, dlsb), Jarak Pagar diperkirakan mampu menggantikan kebutuhan BBM asal fosil yang semakin langka di masa depan. Minyak Bio-fuel yang dihasilkannya dapat memenuhi kebutuhan sektor transportasi, sedangkan bijinya—bahkan briket ampasnya—bisa menghidupi kompor-kompor dapur rumahtangga di seantero negeri – dengan harga lebih murah dari Minyak Tanah atau Gas Elpiji (yang pasokannya tetap langka dan kerap ’meledak’ itu). Belum lagi surplus-nya yang masih dapat kita ekspor untuk meraih devisa melimpah! Ya, kalau Brazil saja sudah mampu berswasembada dan ekspor methanol & ethanol asal pohon kayu eucalyptus-nya, mengapa Indonesia tidak?

 

Sumberdaya Manusia

Ke Tiga, dari segi Sumberdaya Manusia (SDM). Awas! Jangan serta-merta kita tengok sekian puluh juta kaum penganggur-miskin di negeri kita yang jumlahnya terus bertambah tanpa kunjung tertangani itu. Nanti kembali kelemahan negara kita yang tampak di depan mata, disusul berbagai ancaman yang menyertainya. Untuk tetap berfokus mencari peluang, mari kita coba menengok ke luar negeri, misalnya ke entah berapa juta orang di seluruh dunia yang ‘cinta Indonesia’ – baik karena faktor tempat kelahiran, perkawinan, keturunan maupun adanya tali pengikat emosional lainnya. Bayangkan betapa manfaat kolosalnya, apabila mereka semua bisa dihimpun ke dalam suatu wadah persaudaraaan internasional untuk saling asih-asah-asuh dengan rakyat Indonesia sebagai leluhur-nya?

Mereka, sebut saja untuk sementara “Friends of Indonesia” (FOI), dapat berkumpul bersama secara berkala, saling berkenalan-bernostalgia-maupun-bekerjasama, demi mempererat tali persahabatan yang ada. Bayangkan lagi umpamanya, setiap anggota FOI di rantau itu berkenan menjadi ‘Orang Tua Asuh’ bagi satu saja anak Indonesia yang tidak mampu bersekolah, berapa banyak beasiswa kolektif yang bakal terhimpun? Atau jika masing-masing mau mempekerjakan satu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sebagai karyawan mereka, berapa juta pekerja migran kita yang akan tertampung – tanpa harus dilecehkan, ‘diperkosa’ atau dikejar-kejar untuk dipaksa pulang (atau malah dijadikan ”sukarelawan” penjaga perbatasan) di negeri jiran sebagaimana yang cenderung terjadi selama ini? Lalu, apakah konsep LSM internasional demikian merupakan ‘ancaman’ bagi Ketahanan Nasional kita? Jelas, tidak! Karena orientasi utamanya tetap kecintaan kepada Indonesia. Berbeda halnya dengan sementara organisasi transnasional lain yang sudah lama menyebar di negeri kita, baik yang berbasiskan agama maupun ideologi tertentu, yang bolehjadi punya “agenda tersembunyi” masing-masing yang belum tentu menguntungkan NKRI kelak. Siapa yang tahu?

Secara individual, tak kurang banyak manusia Indonesia yang mampu meraih prestasi internasional di berbagai bidang. Mereka, modal manusia unggul ini, baru belakangan ‘ditemukan’ berhubung sempat memenangkan lomba-lomba di tingkat dunia. Karena itu, alangkah perlunya upaya pemanduan dan pembinaan khusus terhadap mereka oleh berbagai pihak–pemerintah maupun swasta—demi keunggulan Indonesia di masa depan. Seperti kita ketahui, yang lebih banyak diselenggarakan orang di negeri kita sejauh ini adalah santunan dan pembinaan bagi para penyandang cacat, agar mereka mampu hidup mandiri atau berprestasi ‘mendekati’ orang-orang normal – disponsori ikut para-oiympic, misalnya!

Masih di seputar Sumberdaya Manusia, namun kali ini saya ingin menengok ke dalam, pada puluhan ribu kaum pekerja-profesional di berbagai bidang keahlian yang tersebar di seluruh negeri. Nah, andaikan pemerintah memberi mereka tugas wajib mengajar gratis (minimum 10 orang saudara sebangsa yang belum produktif – umpamanya), alangkah besar dampak positifnya bagi NKRI. Anggap saja tugas termaksud sebagai padanan dari ‘wajib militer’, yang belum kunjung mampu diselenggarakan berhubung minimnya anggaran Pertahanan kita sampai hari ini. Coba Anda reka-reka, berapa besar peluang kerja yang dapat tercipta karenanya – sekali lagi, andaikan gagasan termaksud dapat terwujud. Dan mengapa tidak? Mekanismenya tinggal merancang dan memberlakukan Undang-Undang Tannas baru yang memungkinkan pengalihan program ‘Wajib Militer’ menjadi ‘Wajib Mengajar’ termaksud. Tidak terlalu sulit, bukan?

 

Ekonomi-Keuangan

Ke Empat, kita semua merasakan, betapa semakin lama perekonomian negara kita kian terpuruk, banyaknya ketidakadilan pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia ditambah krisis keuangan global yang melanda dewasa ini.  Tetapi sedikit yang menyadari, bahwa salah satu hulu dari semua permasalahan itu dikarenakan beredarnya alat tukar berupa uang kertas (fiat money) yang dicetak oleh negara-negara penerbitnya – tanpa jaminan apa pun. Pada awalnya, jumlah uang yang dicetak oleh suatu negara berdaulat harus didukung oleh simpanan sejumlah tertentu logam mulia yang diawasi secara internasional. Mengapa? Karena logam mulia (semisal Emas dan Perak) relatif bernilai langgeng, sedangkan uang kertas hanya punya nilai sepanjang didukung eksistensi negara penerbitnya. Kalau negara tersebut bangkrut, atau jatuh karena sebuah “revolusi” misalnya, maka hancur jugalah kepercayaan dunia terhadap nilai mata uang negara yang bersangkutan. Sementara alat tukar berupa logam mulia tetap bernilai di tangan para pemegangnya, terlepas dari apakah rezim penguasa di negara tersebut gunta-ganti berkali-kali

Tetapi anehnya, secara sangat licik dan halus, kewajiban menyediakan jaminan logam mulia tersebut dicabut – dan bahkan lalu disetujui secara internasional. Syahdan berlomba-lombalah setiap negara mencetak dan mengedarkan mata uang kertas masing-masing ke seluruh dunia. Tentu saja, yang paling diuntungkan oleh kesepakatan curang ini adalah rezim penguasa yang memegang tampuk pemerintahan (beserta kroni mereka) di setiap negara bersama-sama dengan negara adidaya (beserta sekutunya) secara internasional. Pada kasus tersebut belakangan, setelah mata uang negara tertentu mencapai nilai devisa yang tinggi di dunia, ibaratnya, mereka bisa “membeli” apa pun dan di mana pun – hanya dengan mencetak uang kertas seberapa banyak yang diperlukan! Sangat tidak adil secara kemanusiaan, bukan? Karena betapalah nilai intrinsik dari secarik kertas? Sedangkan kalau pencetakan uang oleh setiap negara itu wajib dijamin dengan logam mulia (atau satuan energi bahan mineral tertentu misalnya), tidak mungkin ada pihak yang bisa berbuat seenak perut demikian (untuk lebih jelasnya, lihat ”Satanic Finance: True Conspiracies”, oleh A. Riawan Amin, Celestial Publishing, 2007). Di lain pihak, keuntungan lain dari adanya jaminan logam mulia atas uang kertas yang diterbitkan masing-masing negara berdaulat termaksud berpotensi bisa mengakhiri Industri Uang Palsu—termasuk yang ASPAL–di seluruh dunia untuk selamanya!

Sementara menunggu munculnya kesadaran semua pihak akan ketimpangan hakiki di balik sistem perekonomian berdasarkan uang kertas yang sudah meng-global ini, di benak saya muncul gagasan untuk menghidupkan kembali sistim barter sebagai salah satu cara mengurangi ketergantungan umat manusia terhadap uang, baik kertas maupun padanannya: uang elektronik  Barter yang saya maksud bisa antar barang-dengan-barang, barang-dengan-jasa, jasa-dengan-barang maupun jasa-dengan-jasa  Dasarnya adalah kesepakatan akan nilai barang atau jasa itu di mata para pemakainya. Sebaiknya, secara umum nilai tersebut ditetapkan setara (1 : 1), guna memudahkan transaksi yang terjadi, kecuali dalam kasus-kasus khusus di mana komoditas yang bersangkutan punya nilai khusus pula.

Proses barter modern yang hendak saya usulkan ini jauh berbeda dengan sistim barter tatap-muka tempo doeloe, karena kini sudah tersedia teknologi komputer dan internet. Para peminatnya tinggal mengunjungi situs ‘Klub Barter’ yang ada untuk melihat-lihat sambil mengajukan penawaran barang atau jasa masing-masing secara on-line, lalu disusul langkah transaksi berikutnya, baik lewat ‘kopi darat’ maupun memakai jasa PT Pos atau courrier service terpercaya lainnya. Andaikan ada pihak yang terbukti sengaja menipu, identitasnya bisa masuk daftar hitam (black list) di seluruh komunitas Barter Club Indonesia, sehingga tidak diperkenankan lagi untuk bertransaksi di kemudian hari. Sederhana, bukan? Dan kalau sistim Barter Modern ini bisa kita hidupkan di Indonesia, sebagaimana kini sudah banyak berlangsung di negeri-negeri industri maju, besar kemungkinan jumlah dan peran uang kertas yang beredar di dalam perekonomian kita akan berkurang secara signifikan dan martabat manusia akan lebih terpelihara karenanya.

 

Keadilan Alternatif

Ke Lima, kali ini menyangkut bidang Penegakkan Hukum & Keadilan, terutama terhadap para koruptor. Lho, kok koruptor? Benar, dan di sini saya ingin memakai ‘teknik berpikir terbalik’ (reverse thinking) – juga dengan maksud mengubah ancaman menjadi peluang. Artinya, lewat sebuah peraturan perundang-undangan terbaru, semua koruptor di Indonesia, kelas teri-bandeng-kakap-maupun-Hiu atau Paus, tidak lagi dikejar-kejar maupun konon ‘dijebak’ oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diganjar ‘kurungan penjara’, apalagi sampai ‘dihukum mati’. Tetapi justru akan kita kenakan ‘wajib kerja sosial’ bagi kepentingan masyarakat umum. Dan semakin besar jumlah kerugian negara yang ditimbulkan, kian tinggi pula persyaratan manfaat sosial-kemanusiaan yang wajib mereka penuhi. Seperti diketahui, konsep ‘tebus dosa’ sebagai tandingan dari ‘hukuman atas kesalahan’ bagi para penjahat demikian sudah lama diterapkan di negeri-negeri maju. Sayangnya ia belum banyak dikenal di negeri kita. Jadi, di tengah era ‘darurat korupsi’ di Indonesia dewasa ini, barangkali ada baiknya alternatif pengganti hukuman ini kita ujicoba kelayakannya (ketimbang repot-repot membangun ’penjara khusus’ yang biayanya mahal?).

Andaikan perubahan paradigma penegakkan keadilan termaksud secara yuridis dimungkinkan, adalah menarik untuk mengetahui apakah para tersangka koruptor kakap (Hiu atau Paus) Indonesia masih memilih buron ke negeri Jiran (atau negara penampung koruptor mancanegara yang lain), pura-pura sakit, ’hilang ingatan’ (?!) atau minta ijin berobat jalan dan menjadi tahanan rumah? Atau malah ramai-ramai mau memprakarsai tindak ‘kedermawanan alternatif’ sesuai pilihan masing-masing? Ya, berhubung memperoleh kesempatan diadili secara kreatif demikian, mudah-mudahan ada pula yang bahkan suka-rela melaporkan sendiri praktik korupsi mereka yang belum tercium pihak Kejaksaan atau KPK – demi rasa aman dan ketenteraman hati-nurani mereka. Meskipun nyaris mustahil, tapi mungkin saja hal tersebut belakangan terjadi, bukan?

Masih di bidang penegakkan keadilan alternatif, sejak lama saya juga terpikir tentang perlunya tandingan dari upaya menghukumi mereka yang bersalah, yaitu: menghadiahi mereka yang berjasa di masyarakat – yang secara sosial lebih berorientasi ’balas budi’ ketimbang ’tebus dosa’ seperti usul sebelumnya. Menurut hemat saya, secara kodrati manusia punya naluri keseimbangan resiprokal yang setara untuk: membalas dendam (atas segala kerugian yang dideritanya) maupun membalas budi (atas segala keuntungan yang dialaminya) akibat ulah pihak lain. Namun sayangnya, kebudayaan—bahkan peradaban!—kita lebih mendukung tindak balas-berbalas yang negatif, dan melalaikan yang positif. Coba saja kita ingat, tradisi balas dendam seperti Carok di Madura atau Siri di Bugis (mirip Vendetta di Italia) yang kerap diwariskan turun-temurun itu. Tetapi mana kultur tandingannya: balas budi secara sosial?

Anda mau menambah penyebab yang lain? Simaklah alur cerita semua kisah fiksi, baik yang didongengkan, tercetak mapun berupa film. Seseorang, sekeluarga atau sekelompok warga yang tidak bersalah tiba-tiba diancam, dianiaya atau dibunuh. Lalu munculah sang ’Jagoan’ yang berniat melindungi korban dan menuntut keadilan (baca: balas dendam!). Dia bisa berasal dari keluarga dekat korban, petugas hukum atau pihak luar yang bersimpati. Syahdan, cerita pun terjalin sepanjang upaya mencari dan menemukan para pelaku kejahatan yang bersangkutan, kerap dibumbui sekadar kisah cinta (plus seks kilat!), dan berakhir tepat manakala dendam terbalas dan keadilan berhasil ditegakkan. Pesan utama apa yang bisa ditarik dari sekian kisah tersebut? Sekali lagi: dendam harus dibalas setimpal (bahkan tak jarang lengkap dengan ’bunga’nya), tapi hutang budi? Seperti kata pepatah: ”…cukup dibawa mati.”

Karena itu, usul kongkret saya adalah perlunya upaya menegakkan keadilan tandingan secara massal berupa gerakan menghargai (termasuk menghadiahi) mereka yang terbukti berjasa secara sosial-kemanusiaan. Agar tidak rancu, sengaja istilah ’pahlawan’ yang kerap bermakna subyektif itu saya hindari di sini. Karena bisa jadi para pahlawan dalam konteks perang misalnya, adalah mereka yang paling berjasa membunuh pihak lawan; sementara belum tentu para korban itu berada di pihak yang salah; sementara sang ’pahlawan’ itu sendiri belum tentu di pihak yang benar. Sedangkan hakikat ’berjasa secara kemanusiaan’ lebih obyektif, tidak pandang bulu, dan berlaku universal. Dan berhubung kini kita hidup di dunia nyata, bentuk penghargaan atau hadiah itu pun jangan hanya yang membanggakan secara psikologik seperti: piagam, medali atau julukan-julukan keren tertentu. Tapi harus mampu mendukung kehidupan yang layak (tempat tinggal, biaya hidup, peralatan kerja) bagi para penerimanya – demi melestarikan karya-karya sosial-kemanusiaan yang mereka hasilkan. Bahkan kalau perlu, mereka yang terbukti telah berjasa besar kepada masyarakat, diundang untuk masuk ”penjara tandingan”, yakni tempat bermukim khusus di mana proses berkarya manusia-manusia berprestasi unggul tersebut didukung secara optimal. Ya, siapa tahu dengan eksperimen sosial inovatif termaksud, usia mereka akan semakin panjang dan karya-karya kemanusiaan mereka kian bertambah? Kita semua juga yang akan ikut menikmati hasilnya, bukan?

 

Kesehatan

Ke Enam, di bidang Kesehatan, di mana seperti diketahui salah satu kekuatan negeri kita adalah sumberdaya tumbuh-tumbuhan (Flora) maupun hewan (Fauna)-nya sebagai bahan vitamin, food supplements serta obat-obatan alami terkaya di dunia. Karena itu, mengapa tidak segera kita masyarakatkan Obat Asli Indonesia (OAI) lewat kegiatan Lit-Bang dan promosi terpadu yang serius dan kontinyu? Kurang biaya? Baiklah, mari kita mulai dengan menganjurkan dan memfasilitasi sebanyak mungkin rumah-tangga membudidayakan Apotek Hidup (tanaman kesehatan & penyembuhan) di tanah pekarangan masing-masing. Aneka bibitnya kita bagikan gratis kepada semua pihak yang membutuhkan, petunjuk bercocok-tanamnya kita sebarluaskan, pedoman membuat dan mengggunaan obat yang dihasilkan kita ajarkan dan bahkan surplus bahan baku yang dihasilkan bisa kita beli lalu tampung untuk mendukung industri OAI nasional di masa depan. Ya, kalau Korea Selatan saja mampu menjadikan ginseng sebagai komoditas ekspor andalan mereka, mengapa negara dengan keanekaragaman hayati yang begitu kaya seperti Indonesia, tidak?

Pada gilirannya, dari hasil riset dan pengembangan bidang farmasi yang dilakukan, siapa tahu kita dapat menemukan obat alternatif penangkal penyakit-penyakit dunia yang belum tersembuhkan seperti Kanker, AIDS termasuk Flu-Burung  (berikut biotipe terbarunya: Flu Babi atau H1 N1) secara mandiri. Sehubungan dengan penyakit tersebut belakangan, kita jadi terbebas dari paksaan menyerahkan sample darah para korban di Indonesia ke Global Influenza Surveilance Network (GISN) – lembaga khusus di bawah Badan Kesehatan PBB/WHO (yang bekerjasama dengan pusat riset ‘senjata biologi’ AS di Los Alamos National Laboratoty, New Mexico). Untunglah tradisi kerjasama-paksa internasional yang telah berusia lebih 50 tahun tersebut dapat berakhir berkat perjuangan gigih mantan Menteri Kesehatan R.I. Ibu Siti Fadilah Supari – seperti terungkap dalam bukunya yang edisi Inggrisnya sempat dilarang beredar: “Saatnya Dunia Berubah” (PT Sulaksana Watinsa Indonesia, 2008).

Di lain pihak, kalau bidang Kesehatan umumnya berorientasi utama menyembuhkan penyakit, maka berikut saya ingin bicara topik tandingannya, Penyehatan, yang berpangkal tolak dari pola hidup orang-perorang di masyarakat  Menurut hasil renungan saya, sedikitnya ada 4 bidang kehidupan yang harus dikelola dengan baik agar kita mencapai derajat kesehatan dan kebugaran yang optimal; bukan sekadar sembuh atau bebas dari penyakit. Keempatnya adalah berturut-turut: Pernafasan, Makanan, Olah Tubuh dan Istirahat Dalam hal Pernafasan, kita bisa melatih diri sedemikian rupa agar mampu bernafas secara berirama, menghirup oksigen dan energi Chi atau Prana yang seoptimal mungkin menggunakan segenap sel paru-paru kita. Kedua, soal Makanan, bukan cuma prinsip “4 Sehat 5 Sempurna” yang perlu kita terapkan, tapi juga Halal dan Thoyiban (bagi ummat Islam).

Dalam hal Olah Tubuh, yang penting adalah latihan teratur bagi seluruh otot–termasuk organ internal–tubuh kita  Hal mana jarang tercapai oleh olahraga permainan atau sport yang kita kenal selama ini  Beberapa jenis sport kompetitif, betapa pun mengasyikkannya sebagai tontonan, malah bisa merusak tubuh kita – Tinju misalnya. Sebagai rujukan, saya hendak merekomen tradisi olah tubuh kuno yang kiranya tetap relevan hingga saat ini, seperti Yoga (India) dan Tai-Chi (Cina). Indonesia pun sesungguhnya punya temuan sistem olah-tubuh lengkap yang sangat sederhana, yakni: ORHIBA (Olahraga Hidup Baru) yang kini sudah dipraktikkan oleh ratusan ribu orang di seluruh tanah air

Terakhir, soal Istirahat, di sini bukan jumlah atau lamanya yang penting, tapi mutunya  Ya, mutu istirahat kita jauh lebih perlu diutamakan dibanding seringnya ia dilakukan. Istirahat, bahkan tidak selalu harus berupa tidur (karena tidak sedikit tidur yang disertai stress atau mimpi buruk!). Salah satu kiat istirahat bermutu tinggi, misalnya, adalah Meditasi, yang apabila dilakukan secara teratur akan mampu meningkatan kesehatan lahir dan sekaligus bathin kita. Nah, kalau keempat bidang tersebut mampu kita kelola dengan baik, Insya Allah, kesehatan tubuh kita akan menjadi prima dan aneka penyakit pun enggan menghampiri kita.

 

Kebudayaan

Ke Tujuh, di bidang kebudayaan, khususnya bahasa. Sejak lama saya bersama sejumlah kawan pemerhati Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) ingin mencanangkan Bahasa Indonesia (sebagai rumpun bahasa Melayu) menjadi alternatif bahasa internasional baru. Seperti kita ketahui, dari segi jumlah penuturnya sejauh ini, Bahasa menempati peringkat ke-4 paling banyak dipakai orang di seluruh dunia (setelah Inggris, Mandarin dan Perancis). Secara turun-temurun, para pemakainya tersebar di berbagai negara: Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina Selatan, Thailand Selatan sampai ke Suriname, Belanda dan Afrika Selatan.

Sehubungan dengan itu, andaikan pemerintah NKRI memiliki visi serupa, disertai kesadaran akan betapa manfaat strategiknya di masa depan, tentu cita-cita termaksud bisa dipercepat lewat upaya-upaya terprogram. Seperti: menyiapkan aneka bahan pelajaran BIPA (Buku, Kaset, VCD dan Situs Internet), menambah tugas diplomatik ekstra kepada KBRI kita agar juga mengajarkan BIPA di tempat mereka bertugas, menyelenggarakan lomba-lomba terkait, termasuk merintis perayaan ’Hari Penutur Bahasa Internasional’ berkala di semua negara pendukungnya. Ya, mengapa Belanda bisa menyelenggarakan Erasmus Huis, Jerman memiliki Goethe Institut dan Perancis punya Alliance Française yang a.l. mengajarkan bahasa negeri masing-masing di mancanegara, tapi kita belum kunjung merintis jaringan ‘Pusat Kebudayaan Indonesia’ di rantau?

Masih di bidang kebudayaan, ada lagi unsur budaya asli Indonesia lain yang sangat  potensial untuk juga dikembangkan secara global, yaitu di bidang bela-diri (martial arts) – Pencak Silat. Coba bandingkan dengan sekian aliran serupa yang sejak dulu diimpor ke negeri kita seperti Judo, Ju Jit Su, Karate, Kempo. Aikido (Jepang), Tae Kwon Do (Korea), Kung Fu atau Wu Shu (Cina), bahkan belakangan ini Capoeira (Brazil). Rasanya sedikit yang menyadari bahwa aneka kegiatan tersebut bukan mengandung misi olah-raga semata, melainkan punya dampak kebudayaan serta strategi ekonomi tersirat yang tentunya akan menguntungkan negeri asalnya. Sehubungan dengan itu, mengapa tidak kita ekspor Pencak Silat Indonesia ke mancanegara secara sengaja dan terencana – juga lewat kerjasama dengan sekian KBRI yang ada? Siapa bilang aneka aliran Pencak Silat Indonesia kalah unggul dibanding berbagai macam sistim bela diri asal impor tersebut di atas? Anda punya nyali untuk mengujinya?

 

Spiritual

Ke Delapan, serupa-tapi-tidak-sama dengan unsur-unsur kebudayaan di atas, bersama ini saya juga hendak mengajak sidang pembaca menengok potensi lain bangsa kita di bidang spiritual, khususnya aliran kepercayaan/kebatinan. Seperti jarang diketahui, salah satu di antaranya, Susila Budi Dharma (SUBUD) misalnya, kini telah berkembang ke seluruh dunia, dengan cabang-cabangnya di lebih dari 100 negara! Ya, Anda bisa bayangkan betapa manfaatnya kelak apabila puluhan aliran kebatinan asal Indonesia yang lain juga dapat go international’ seperti halnya SUBUD, dan  mengapa tidak? Tantangannya tinggal mengemas dan memasarkannya menurut kaidah-kaidah social marketing modern. Belum lagi kini kita juga bisa memanfaatkan media On-Line (Website, YouTube, Podcast, Blog & E-mail) yang sangat murah dan efektif. Mumpung kebutuhan manusia modern akan hal-hal yang bernuansa spiritual (kecerdasan spiritual, God Spot, dan yang semacamnya) belakangan ini semakin meningkat .

 

Kepariwisataan

Ke Sembilan, di bidang Kepariwisataan, saya jadi teringat monumen warisan budaya bangsa kita, Candi Borobudur, yang pernah dinobatkan PBB (UNESCO) sebagai satu di antara 7 Keajaiban Dunia (Seven Wonders of the World). Kalau mencari-cari kelemahannya, maka akan kita dapati semakin rusaknya situs purbakala tersebut karena kurang dipelihara dengan teratur, lingkungannya yang tercemar dan berbagai ancaman lainnya – termasuk sempat hendak dihancur-leburkan dengan bom oleh oknum-oknum fundamentalis yang tak bertanggungjawab!

Tetapi kalau mau dicari peluang yang mungkin kita peroleh dari padanya, di benak saya sejak lama muncul pertanyaan provokatif berikut: “Dengan cara-cara apa kita dapat menjadikan Candi Borobudur sebagai semacam Ka’bah bagi orang-orang Buddha se-Dunia?” Dan begitu kita sepakat dengan visi termaksud, tidaklah sulit untuk menyusun strategi persiapan serta promosinya – sebut saja untuk 5 atau 10 tahun ke depan. Bayangkan, berapa banyak devisa yang setiap tahun bakal diantarkan ummat Buddha mancanegara ke kas negara kita setelah peluang tersebut menjadi kenyataan? Bahkan bukan tidak mungkin pada gilirannya kita pun perlu menetapkan semacam kuota bagi masing-masing negara yang ummat Buddhanya mengantri ingin berziarah ke negeri kita – seperti halnya ummat Islam se-dunia berduyun-duyun ke Mekkah (Arab Saudi) setiap musim Haji.

 

Penutup

Sebenarnya masih banyak lagi tantangan berpikir kreatif yang dapat kita lakukan untuk melacak dan menemukan peluang-peluang, baik yang masih potensial maupun sudah aktual di seputar NKRI kita. Dan tidak semuanya terlampau sulit atau memerlukan dana besar untuk dieksploitasi. Banyak di antaranya yang justru sangat menantang karena relatif mudah dan murah untuk diwujudkan, sekali kreativitas kita berhasil menemukan konsepnya. Justru upaya penelitian dan pengembangan konsep (Consept R & D) inilah yang jarang dilakukan orang, padahal sumberdaya maupun teknologi pendukungnya sudah tersedia sejak lama.

Semua yang diuraikan di atas adalah sekadar contoh betapa penerapan sebuah teknik berpikir, yakni Analisis SWOT ke dalam konteks Ketahanan Nasional bisa memunculkan konsep-konsep provokatif baru yang jarang terpikirkan sebelumnya. Kalau dikehendaki, teknik berpikir yang sama, ditambah aneka teknik berpikir kreatif lainnya, bisa saja kita kerahkan lebih lanjut, dalam rangka semakin melengkapi dan memperkaya wawasan Ketahanan Nasional kita semua. Semoga!

______________

Bambang Utomo (Tomi) adalah seorang penulis-lepas dan pemandu pelatihan/kursus berpikir kreatif di Cianjur – Jawa Barat. Artikel daur-ulang ini adalah sumbangan pikiran dalam rangka ikut menyambut “Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2010”. Komentar langsung kepada penulis dapat dikirim via email ke griyagagasan(at)gmail.com

Recent Posts

3 Kunyuk Ex Covid-19

Tuesday, 21 July 2020, 02.53 Ini kisah nyata. Pertengahan Juli ini, di sebuah warung kopi di bilangan Jalan Sabang, Jakarta Pusat,…

4 years ago

HIkmat Kebijaksanaan

Tiga alinea awal Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mengenai Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Ketiga alinea itu secara singkat dan lugas menyatakan…

6 years ago

Mengapa Kita Tertipu

Kalau kamu pemerhati sejarah, saya yakin kamu sepakat bahwa penipuan terjadi sejak peradaban manusia terbentuk. Dan bila kita jujur, kita…

6 years ago