Ini cerita pendek sekali, tapi sayang rasanya kalau cerita ini tidak saya share.
Mungkin hari itu adalah hari Minggu atau Selasa tgl 1 Mei (may day), karena kami banyak berpapasan dengan banyak TKI (buruh migran) di jalan yang sedang menikmati hari liburnya. Rata-rata dari mereka selalu menyempatkan melemparkan senyuman atau menyapa kami. Mungkin karena mereka kangen tanah air dan mereka mendengar kami berbahasa Indonesia, tegur sapa ini bisa menjadi obat rindu.
Saya bersama tiga orang rekan saat itu hendak mencari sarapan sebelum kegiatan utama masing-masing dari kami. Sudah disepakati bahwa sebisa mungkin tempat makan yang dipilih adalah tempat makan yang jelas-jelas tidak mengandung babi seperti fast food khusus ayam, Karena dekat dengan apartemen tempat kami menginap, Kentucky Fried Chicken lah jadi pilihan. Namun ketika kami memasuki KFC tersebut, rasa lapar harus ditahan melihat antrian panjang. Kesabaran lebih diperlukan juga karena hampir semua tempat duduk sudah ditempati.
Satu hal yang buat kami merasa agak lebih nyaman adalah terlihat beberapa kelompok wanita yang kami duga adalah tenaga kerja informal, entah dari Indonesia atau Filipina. Seperti waktu di jalan, ternyata kelompok TKI yang sedang menikmati sarapannya pun menyapa kami. Kali ini lebih dari sekedar sapaan, mereka memberi isyarat agar kami jangan khawatir tidak mendapat tempat duduk, karena mereka menyiapkan ruang untuk kami. Setelah menerima pesanan, kamipun bergabung dengan kelompok burh migran tanah air yang baik hati tadi.
Hanya perbincangan ringan yang terjadi antara kami dengan para buruh migran ini, karena mereka sudah ditunggu teman-teman buruh migran lainnya di Victoria Park. Perbincangan ringan ini menyiratkan bahwa mereka cukup nyaman bekerja di Hong Kong ini, walaupun kadang perasaan rindu keluarga dan kampung halaman dapat membuat hati gundah. amipun memanfaatkan bincang-bincang sarapan ini untuk mendapat informasi mengenai transportasi umum (metro dan bus) serta berbagai landmark.
Ketika waktunya mereka harus pergi, merekapun pamit dan memastikan bahwa kami memahami benar arah tujuan kami hari itu agar kami tidak nyasar. Hal yang membuat kami takjub adalah mereka juga berusaha memastikan bahwa kami memiliki cukup uang untuk biaya kami berpelesiran itu.
“Mas sudah ada sangu apa belum? Kalau belum atau kurang, saya ada nih..”, kata salah satu dari mereka.
Kamipun menolak halus dan meyakinkan mereka bahwa kami membawa cukup uang dan kami akan baik-baik saja dalam acara pelesir hari itu. Pergilah mereka dan kami tersenyum..
Sejenak saat itu saya bersyukur menjadi orang Indonesia. Sepertinya keramahan, kesederhanaan, kebersahajaan dan mungkin sejumlah kata indah lainnya pantas untuk disandang oleh jiwa-jiwa Indonesia seperti para buruh migran itu. Sekaligus miris juga membayangkan betapa seringnya kebaikkan mereka disalahgunakan.
Tuesday, 21 July 2020, 02.53 Ini kisah nyata. Pertengahan Juli ini, di sebuah warung kopi di bilangan Jalan Sabang, Jakarta Pusat,…
Tiga alinea awal Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mengenai Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Ketiga alinea itu secara singkat dan lugas menyatakan…
Kalau kamu pemerhati sejarah, saya yakin kamu sepakat bahwa penipuan terjadi sejak peradaban manusia terbentuk. Dan bila kita jujur, kita…