Bandung,pagi hari tanggal 15 Januari itu saya terlambat bangun. Rencana bangun jam 5 ternyata malah molor hingga jam 7. Dari rencana yang tidur hanya satu setengah jam saja jadi kepanjangan sampai 3 jam. Iya memang saya baru tidur jam 03.30.
Karena saya sudah berjanji dengan Cecep dan Pak Ahmad utnuk melakukan briefing di Pasar Minggu jam 10.00 maka saya harus segera berangkat ke Jakarta. Setelah ngopi dan mandi, saya langsung bergegas berangkat. Waktu menunjukkan pukul 08.15 ketika saya berpamitan pada Papa dan Mama. Mampir sebentar ke ATM dan Pom Bensin, saya tiba di pintu tol pasteur sekitar pukul 08.40.
Cuaca memang tidak bersahabat pada pagi itu, hujan turun memang tidak terlalu deras tapi cukup untuk membuat genangan-genangan air yang membuat mobil dapat slip. Saya berusaha untuk konsentrasi penuh, dan saya yakin pada waktu itu saya tidak mengantuk sama sekali.
Teringat oleh saya, pernah pada suatu hari saya kebut-kebutan dengan seekor Mitshubishi Galant V6 di Cipularang dengan kondisi yang sama, yaitu hujan. pada waktu itu saya memenangkan balapan liar tersebut pada kecepatan di atas 200 km/jam. Saya yakin waktu itu yang membuat galant agak keder pada kecepatan tersebut adalah handling yang agak merepotkan ketika harus melewati genangan air.
Hujan memang tidak sederas pada saat saya balapan dengan Mitsubishi Galant, tetapi kondisi jalanan sepertinya sama, yaitu banyak genangan air. Mungkin dari hujan malam sebelumnya. Kepadatan jalan pun terbilang jauh dari kondisi padat atau macet. Saya hampir tidak menggunakan bahu jalan sama sekali untuk mendahului karena hampir selalu tersedia jalur kanan utnuk mendahului.
Memasuki kilometer 80-an saya melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 08.55. Dalam hati saya berpikir bahwa akan tiba di Pasar Minggu lebih awal daripada Ahmadi ataupun Cecep, apalagi dengan kondisi jalan yang agak kosong. Meskipun demikian saya mencoba menahan diri untuk tidak mematok kecepatan maksimum pagi itu di 200 km/jam dan tidak lebih. Saat itu kecepatan rata-rata antara 160 – 180 km/jam.
Tiba-tiba di jalan yang relatif lurus dan kosong tersebut (hanya ada satu mobil di depan saya), mobil selip ke arah kanan. Saya mencoba mengendalikan secepat mungkin dan menginjak rem sedalam mungkin (ABS), tapi mobil sepertinya berputar kencang sekali. Yang terlintas dalam pikiran saya saat itu adalah bagaimana caranya saya tidak menabrak mobil di depan saya… dan sepertinya setelah itu saya tidak sadarkan diri.
Ketika saya sadar 100%, saya mendapati diri saya sudah berbaring di sebuah instalasi gawat darurat sebuah rumah sakit berjudul RS Efarinna Etaham Purwakarta. Semenit kemudian, Erick, adik saya, yang ternyata sudah berada di RS sejak saya belum sadar mengacungkan Blackberrynya ke muka saya untuk mengambil foto saya.
Iya reflek saya langsung senyum. Nggak kelihatan di foto kalau di keliling kepala saya banyak lecet dan memar.
Tak lama setelah itu saya juga melihat Papa, Mama, dan juga Ratih, sepupu saya yang saya tidak tahu kapan mereka tiba. Setelah melalui pemeriksaan CitiScan (bener ga?) dan pengurusan administrasi, saya dipersilahkan untuk meninggalkan rumah sakit. Saya sebenarnya berminat untuk ikut Erick kembali ke Jakarta, tapi Papa menyuruh saya beristirahat dulu di Bandung hingga pulih.
Kami kemudian singgah makan di sebuah RS di Purwakarta dan langsung menengok si Hijau yang sudah di derek dan diparkir di halaman kantor PJR Sadang. Lemes saya melihat si hijau yang sudah tidak berbentuk.
Saat itu juga saya berpikir bahwa telah kehilangan si Hijau, karena untuk memperbaikinya dipastikan akan membutuhkan biaya yang sangat banyak dan kesabaran yang sangat tinggi. Jadi selamat jalan dech my lovely Audi..
Sekitar dua minggu kemudian saya menengok lagi Si Hijau yang ternyata sudah dipindahkan ke kantor PJR Purwakarta. Sekalian saya juga menengok TKP yaitu di km 71,6 di jalur Bandung-Jakarta. Setelah mempelajari fakta-fakta yang ada, saya menyimpulkan bahwa kecelakaan disebabkan oleh pecah ban atau selip. Kemungkinan pertama scorenya lebih besar karena ban kanan depan pecah dan habis, yang tersisa hanyalah velg saja. Mengenai prosesnya, dilihat dari kerusakan si Hijau dan bekas-bekas TKP, maka dapat disimpulkan selain berputar horizontal, mobil sempat terbang dan salto, kemudian mendarat dengan pantat dulu, baru dilanjutkan dengan salto darat hingga berhenti terlentang (sesuai penuturan petugas PJR).
Beberapa orang berpendapat bahwa saya terselamatkan karena saya menggunakan Audi yang terkenal dengan safety standardnya. Setelah saya melihat sendiri kerusakan yang terjadi, saya berkesimpulan bahwa malaikatpun sangat berperan menyelamatkan saya, karena bagian atap pun yang berjarak hanya beberapa senti dari kepala saya (bila di belakang setir) hancur hingga ke masuk ke dalam. Namun harus diakui struktur rangka dan Body Audi sangat baik sehingga meskipun jungkir balik kedua sisi relatif hanya bengkok sedikit. Saya sangat bersyukur.
Hasil dari kecelakaan tersebut adalah otot leher yang kaku, kedua bahu nyeri bila memutar lengan, dan tiga jahitan di punggung kaki kiri. Selebihnya hanya lecet dan memar ringan di kepala.
Beberapa posting saya mengenai si Hijau:
Gambar lengkap si Hijau yang rusak dapat dilihat di sini
Saya ingat pada saat setengah sadar saya meminta perawat untuk mengganti baju saya yang basah kuyup oleh bensin (panas), kemudian memberi tahu nomor telepon rumah di Bandung, dan mempersilahkan perawat menjahit sobek di punggung kaki kiri saya. Yang saya tidak ingat adalah ketika saya dikeluarkan dari mobil, para petugas yang menolong mengatakan bahwa saya berdiri dan berjalan sendiri ke mobil ambulans.
Yeap saya sangat bersyukur masih dikasih hidup dan sepertinya peristiwa ini adalah peringatan buat saya. Tentunya bukan untuk berhenti ngebut… 😀
Waaaaaaaah, syukurlah Pico nya ga kenapa2 yaaaa …
Soal si hijau, yah sangat disayangkan juga yaaa .. si ijo keren juga siy ternyata =D (I’m a green lover)