Pada akhir 2009 yang lalu, saya sempat tinggal di Bali sekitar 1 bulan lamanya. Miko, sepupu saya berbaik hati meminjamkan rumahnya yang kebetulan kosong tidak ditempati karena pengontrak yang lama pindah domisili ke luar Bali.
Hari pertama, berkenalanlah saya dengan Bu Putu, yang rumahnya satu deret dengan rumah yang saya huni. Alasan perkenalan itu sangat sederhana, karena untuk memenuhi berbagai kebutuhan, saya pasti mampir ke warung Bu Putu yang merupakan warung terdekat dari rumah. Perkenalan dengan Bu Putu ini membuat saya kembali merasakan keramahan khas orang Bali yang khas. Demikianlah saya mendapat banyak bantuan dari beliau selama saya tinggal di Pecatu.
Mulai dari hari pertama saat saya melakukan orientasi medan, saya sudah dibantu banyak oleh beliau. Baru saya tahu bahwa tidak ada kendaraan umum yang setiap jam bisa ditunggu dan ditumpangi bila kita ingin pergi ke Denpasar ataupun daerah lainnya. Sebenarnya, saya sudah dapat pelajaran sebelumnya ketika saya menghabiskan hampir 200 ribu rupiah untuk biaya taxi perjalanan Pecatu – Denpasar dan sedikit Bandara Ngurah Rai. Bu Putu lah yang kemudian meng-arrange agar saya dapat menyewa motor dari salah satu penyewaan di Kuta meskipun saya tidak mempunyai KTP (hilang).
Minggu pertama saya di Bali adalah masa peringatan Galungan – Kuningan yang membuat saya cukup takjub menyaksikan suasana ketaatan umat Hindu Bali dalam memperingatinya. Banyak jalan di sekitar pura ditutup, banyak pengendara motor tidak menggunakan helm (mungkin karena tidak nyaman digunakan bersama pakaian adat), tapi semuanya sepertinya berjalan aman dan lancar. Perayaan itupun juga jadi hajatan bagi keluarga Bu Putu yang melaksanakannya, baik di pura maupun di rumahnya. Salah satu yang jadi perenungan saya masa itu adalah betapa repotnya mereka mempersiapkan berbagai hal termasuk sesajen yang tidak hanya dilakukan di pura, tapi juga di berbagai sudut termasuk di jalan, tempat usaha dan lain-lain.
Hingga pada suatu pagi ketika saya akan berangkat berolah raga di pantai, saya berpapasan dengan Bu Putu di depan rumahnya. Berpakaian adat lengkap, ditemani oleh anak-anaknya, beliau menyiapkan sesaji dan berdoa. Karena tertarik dan masih terbayang renungan saya mengenai segala kerepotan itu, saya berhenti dan menunggu mereka selesai berdoa. Begitu selesai, saya mengucapkan selamat pagi dan bertanya, “Apa ga repot tuh Bu, setiap kali harus berpakaian lengkap seperti itu dan menyiapkan sesaji?”. Terus terang saya tidak terlalu berharap beliau menjawab pertanyaan saya tersebut, mungkin karena saya berpikir bahwa beliau menganggap saya tidak akan bisa mengerti hal-hal yang sudah menjadi kewajiban dalam agama atau adatnya. Terus terang saya juga khawatir beliau akan tersinggung.
Tapi ternyata beliau tetap tenang, tidak menunjukkan sedikitpun ketersinggungan, tersenyum dan menjawab dengan kata-kata sederhana tapi cukup menyentak orang yang (sok) kebanyakan urusan seperti saya. Begini jawabnya,
“yang repot-repot seperti inilah.. yang kalau kita lakukan, membuat kita bahagia.. bukan gitu pak pico?”
*deg* – Demikianlah konsep kebahagian Bu Putu.