Tuesday, 21 July 2020, 02.53
Ini kisah nyata.
Pertengahan Juli ini, di sebuah warung kopi di bilangan Jalan Sabang, Jakarta Pusat, berkumpullah 3 ekor kunyuk ini entah untuk tujuan apa sebenarnya. Mereka hadir sebelum jam makan malam dan kemudian nongkrong di tempat itu setidaknya selama 3-4 jam.
Bukan tampilan atau kelakuan mereka yang menyebabkan 3 mahluk ini pantas disebut kunyuk, tetapi satu bagian dari perbincangan mereka yang saya yakin sekali netizen pun sependapat bahwa mereka pantas untuk disebut kunyuk.
Mereka membahas covid-19 dan pandemi seolah seperti membahas sesuatu yang konyol. Mereka bahkan tertawa terbahak-bahak ketika warung itu dipenuhi oleh tamu padahal pengelolanya sudah memasang pengumuman “Hanya melayani 50% tamu mengkonsumsi makan/minum di tempat”.
Ironi memang, pengumuman itu tidak berarti apa-apa buat pengunjung. Ruangan yang relatif kecil itupun dipenuhi oleh orang-orang yang duduk berjarak kurang dari 1 meter satu sama lain. Pengunjungpun sepertinya abai dengan berita bahwa virus corona menyebar juga lewat udara, terutama di ruangan dengan sirkulasi tertutup dan berpendingin.
Kembali ke para kunyuk tadi. Saya duduk relatif dekat dengan mereka, sehingga mendengar jelas apa yang mereka obrolkan. Mereka pun sepertinya tidak peduli bila orang mendengar omongan mereka. Bahkan saya curiga, mereka sengaja membiarkan orang mendengar.
Dalam obrolannya, 3 Kunyuk ini mengaku sudah terpapar covid-19. Mereka saling berbagi pengalaman masing-masing menderita penyakit yang trending saat ini karena dianggap merupakan biang kerok krisis.
Kunyuk pertama, membuka pengakuannya bahwa dia merasa terpapar covid-19 pada bulan Maret, ketika dia sedang berkunjung ke Las Vegas, AS. Gejala yang dirasakan adalah lemas dan demam tinggi yang menurutnya baru sekali ini dirasakannya, hingga tidak dapat melakukan aktifitas apapun termasuk berpikir. Gejala tersebut berlangsung 3 hari, hingga akhirnya dia memaksakan pulang sehari sebelum penutupan layanan penerbangan internasional efektif.
Walaupun relatif sudah merasa sehat ketika mendarat di Jakarta, dan lolos dari pemeriksaan suhu badan di bandara, dia merasa perlu untuk mengkarantina dirinya selama 14 hari di sebuah hotel sebelum pulang ke rumah dan berkumpul bersama keluarganya.
Kunyuk kedua punya cerita lebih horor. Dia mengaku 3 kali merasakan gejala covid-19 dalam periode 4 bulan terakhir. Gilanya si kunyuk satu ini, dia tinggal bersama anak-istri beserta mertuanya. Kunyuk kedua ini secara sengaja menghindari anjuran untuk memeriksakan dirinya ke dokter. Alasannya adalah menghindari karantina RS yang menurutnya akan membuatnya lebih beresiko menemui ajak ketimbang melakukan proses penyembuhan di rumah. Alasan tambahannya adalah berusaha menghindari kepanikan yang tidak perlu dari keluarganya.
Namun dia juga was-was, terhadap resiko penularan kepada anak, istri dan mertuanya. Dia bilang, sebisa mungkin dia membatasi interaksi, terutama dengan mertuanya yang tentunya lebih rentan.
Dibanding cerita kedua kunyuk sebelumnya, pengalaman kunyuk ketiga relatif datar, tidak dramatis. Kunyuk ini merasakan gejala covid-19 pada pertengahan Februari, sebelum penderita Covid-19 pertama diumumkan pemerintah. Tinggal berdua bersama istri dan jarang melakukan aktivitas ke luar rumah, menyebabkan prosesnya dilalui dengan tidak banyak hambatan.
Kunyuk rumahan ini curiga bahwa sebagian besar penduduk di RT nya sudah terpapar Covid-19, karena rutinitas mereka relatif tidak terlalu berubah mengikuti protokol kesehatan.. Terutama di pagi hari ketika berbelanja bahan makan dari tukang sayur. Satu yang dia yakin sudah terpapar juga adalah asisten rumah tangga yang sempat absen hingga seminggu. Ketika istri si kunyuk bertanya bahwa mungkin terpapar Covid-19, si asisten ini menjawab, “Sudah lewat covidnya, bu”.
Satu kesamaan dari 3 kunyuk ini adalah mereka sama-sama tidak di-tes baik swab maupun rapid test ketika mengalami gejala tersebut. Jadi sebenarnya belum tentu benar mereka menderita Covid-19. Mereka hanya mengaku-ngaku untuk justifikasi sikap mereka yang menganggap enteng Covid-19.
Mereka malah mempertanyakan mengapa orang yang sembuh tidak diteliti mengapa mereka sembuh. Padahal angka kesembuhan jelas jauh lebih tinggi dibanding angka kematian. Pun kalaupun pemerintah tidak mau mengakui klaim China bahwa Traditional Chinese Medicine (TCM) yang menyembuhkan para penderita di Wuhan, sebaiknya tetap dicari mengapa sebagian besar “penderita” Covid-19 sembuh.
Para kunyuk ini juga sependapat bahwa media cenderung menyebarkan ketakutan dan tidak proporsional dalam pemberitaannya.
Sayangnya saya tidak sempat mengambil foto para kunyuk ini dan para pengunjung warung kopi lainnya (yang sangat mungkin mereka juga termasuk kategori kunyuk), untuk ditampilkan dalam tulisan ini agar para pembaca yang mungkin kenal mereka bisa menghujat perilaku ignoran mereka itu.
Terkait urusan menghujat, mungkin netizen bisa membantu menghujat TNI dalam video di bawah ini yang jelas menganggap enteng Covid-19. Pertama, penderita Covid-19 klaster SECAPA dicitrakan merasa sehat, tidak ada gangguan kesehatan kecuali gangguan psikis. Kedua, para penderita covid-19 ini tidak dirawat di rumah sakit, malah dijemur di lapangan.
Originally tweeted by pico (@d3to) on 14/07/2020.
Image is taken from this news: https://www.news18.com/news/world/monkeys-infected-with-covid-19-develop-immunity-in-studies-a-positive-sign-for-vaccines-2629373.html