Sekitar akhir Januari 2010 yang lalu saya membuat account @d3to yang sengaja mem-follow beberapa politisi dan tokoh di twitter untuk mempelajari proses politik yang sedang berlangsung waktu itu. Saat itu yang sedang ramai dibicarakan adalah proses sidang dan pemeriksaan oleh Pansus Bank Century DPR. Begitu serunya topik tersebut hingga berbagai opini bisa didengar langsung dari berbagai obrolan masyarakat. Saya sedikit merekam berbagai opini mengenai drama bank century itu di sebuah posting di blog ini.
Sejak saat itulah saya mulai larut dengan account @d3to dan mulai rajin mengikuti berbagai berita politik. Pada tulisan ini, saya mencoba berbagi sedikit dari pengalaman dan pemahaman saya mengenai politik Indonesia.
Lewat account @d3to itulah saya berkenalan dengan banyak aktivis dan terlibat dalam beberapa kegiatan yang bahas dengan politik. Saat aktif di acara @forumwiken bersama @quicchote, @budimandjatmiko, @dapih, @alfiansibarani, dan @enda_la, seringkali diskusi diakhiri dengan bahasan-bahasan politik. Begitu juga ketika hadir pada acaranya @savejkt, bahasan politik juga menjadi agenda menarik dalam diskusi. Dari diskusi-diskusi seperti ini dan ditambah googling sana-sinilah saya menyadari bahwa proses politik Indonesia oleh para politisinya sangatlah nyasar menjauh dari hakikat negara-bangsa Indonesia.
Walaupun sudah aktif berinteraksi dengan para politisi dan juga membahas isu-isu politik melalui twitter ataupun pada diskusi-diskusi, saya merasa bahwa untuk mewujudkan perubahan yang signifikan perlu keterlibatan yang lebih aktif lagi. Mulailah saya menyusun strategi untuk keterlibatan ini.
Indomaritimnomics
Pilihan untuk berpolitik di bidang maritim saya anggap strategis karena potensi yang begitu besar dan begitu diabaikan oleh segenap bangsa pemiliknya, sehingga pemanfaatannya (eksploitasinya) justru dilakukan oleh bangsa asing dan dipergunakan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan bangsa asing tersebut. Saya sebenarnya sudah memulainya sejak tahun 2007 dengan Indonesia Maritime Club, namun kali ini saya ingin memperdalam dengan kekuatan riset. Riset yang saya anggap cukup strategis adalah riset mengenai transportasi laut, dengan perhatian utama pelayaran, pelabuhan dan industri perkapalan.
Jelas saya memilih memposisikan diri sebagai produsen isu ketimbang sebagai politisi yang berjuang melalui parpol dan organisasi lainnya. Saya berharap dapat memberi asupan yang lebih berkualitas kepada para politisi yang berkualitas juga.
Semangat Baru Jakarta
Bermula dari candaan @enda_la agar @imamrasyidi mencalonkan dirinya untuk menjadi gubernur DKI pada pemilukada 2012, yang kemudian ditanggapi serius oleh yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan beberapa kerabat dekatnya. Saya dan @dapih diundang pada pertemuan-pertemuan awal untuk ikut mendukung proses ini.
Yang paling menarik untuk bergabung dalam gerombolan ini adalah kami semua menyepakati beberapa hal penting, diantaranya adalah asumsi bahwa sistem politik yang berlaku saat ini sangatlah diwarnai dengan perilaku politik transaksional-materialistis, asumsi bahwa mayoritas partai politik tidak mempunyai basis massa (DKI) yang solid sehingga menjadi penjelasan terhadap klaim-klaim manipulatif, kenyataan bahwa sistem yang berlaku adalah sistem politik elitis di mana pembentukkan fokus media sangat diarahkan pada perilaku elit-elitnya (lebih sedikit mengenai masyarakat), asumsi bahwa kelas menengah di ibukota ini lebih menjadi agen-agen nilai pasar bebas ketimbang menjadi artikulator aspirasi masyarakat, dan berbagai asumsi lainnya yang menyebabkan panggung politik kita lebih memprioritaskan popularitas ketimbang kerja nyata, lebih memprioritaskan kepentingan kelompok dibanding kepentingan bersama yang lebih besar, mengabaikan kebutuhan perencanaan jangka panjang (termasuk konsekuensi jangka panjang), dan seabrek perilaku non-negarawan lainnya.
Kami juga menyepakati hal-hal ideal seperti menyentuh langsung masyarakat haruslah dengan tindakan nyata, bahwa kesadaran masyarakat haruslah dibangkitkan untuk kepentingan bersama, dan lain-lain. Lebih jauh mengenai berbagai pemikiran ini akan saya tuliskan dalam posting terpisah.
Menyadari keterbatasan dalam hal sumberdaya, jaringan, finansial dan skill, @imamrasyidi pun akhirnya mengundurkan diri meskipun kami tetap akan melaksanakan berbagai agenda gerakan Semangat Baru Jakarta. Pengalaman pencalonan ini setidaknya telah membuat kami berguru pada mantan politisi senior Bapak Sarwono Kusumaatmaja, juga mendapatkan dukungan dari tokoh seperti Deddy Mizwar dan bertemu dengan beberapa kandidat gubernur DKI lainnya.
Refleksi: sinisme apolitis terhadap pelaku politik
Entah sejak kapan di lingkungan pertemanan saya cenderung mengasosiasikan kegiatan berpolitik sebagai kegiatan yang berkonotasi negatif. Mungkin sejak kecil, orang tua kita mengharuskan kita untuk menjiwai trauma terhadap peristiwa yang berkaitan dengan politik. Mungkin juga karena kegiatan berpolitik bukanlah kegiatan yang menghasilkan uang kecuali bila sukses menjadi pejabat publik atau wakil rakyat yang mendapat gaji, sehingga tumbuh prasangka bahwa politisi gagal cenderung menjadi kere.. dan pada masyarakat kapitalistik ini, ke-kere-an adalah sebuah penyakit, gejala parasitisme yang harus dijauhi.. Sebaliknya, bila sang politisi sukses dan makmur, maka ia cenderung digosipkan sebagai koruptor atau dicurigai sering menyalahgunakan wewenang dan kepercayaan masyarakat.
Tak perlu mencari contoh dari politisi ngetop mengenai prasangka di atas.. Ketika saya sampaikan pada seorang teman bahwa saat ini mulai menekuni politik, maka tanggapan spontan dia adalah mengeluarkan nyinyiran, “kalau baru mulai, pasti idealis deh.. tunggu nanti kalau sudah kena duit baru lupa sama idealisme..”
Saat itu, buat saya, kalimat nyinyir itu sudah cukup bikin bete berat. Betapa tidak? Terlepas dari baik/buruknya hasil yang akan dicapai, kerja sukarela yang menghabiskan waktu, energi dan biaya untuk kepentingan masyarakat harusnya mendapat apresiasi, setidaknya apresiasi terhadap niatan baik.
Sistem Politik Indonesia
Secara sederhana saya melihat bahwa sistem politik Indonesia terdiri dari dua layer, yang masing-masing merupakan sistem politik yang berdiri sendiri. Layer atas adalah sistem politik elit dan layer bawah adalah sistem politik Indonesia. Antara kedua sistem tersebut ada jarak (cukup panjang) yang bukan kosong absolut, namun ada beberapa titik-titik yang menjadi penghubung. Kecuali pada Pemilu dan program pemerintah, hubungan antar keduanya cenderung satu arah, yaitu dari layer atas ke layer bawah dengan pola eksploitatif, manipulatif dan koruptif. Media pun lebih suka menyorot drama pada sistem politik elit ketimbang dinamika pada sistem politik Indonesia. Para ahli sosial-politik dan ahli statistik pun cenderung menikmati kondisi ‘fokus pada sistem politik elit’ ini untuk memperkuat basis ekonomi dan status mereka sendiri.
Pola interaksi antar pelaku pada sistem politik elit adalah transaksional murni, dengan sebagai komoditi adalah segala sesuatu yang dapat di-klaim dari elemen sistem politik Indonesia. Referensi nilai utama adalah nilai-nilai pasar universal seperti pola permintaan-penawaran dan teori-teori pasar lainnya. Referensi untuk pengejawantahan nilai-nilai tersebut adalah sejarah pengalaman implementasi negara-negara lain (utamanya Amerika, dan beberapa negara maju lainnya). Pada sistem politik elit ini, Pancasila dan UUD’45 hanyalah dijadikan hiasan dan bukan sesuatu yang dapat berfungsi optimal, sebaliknya hal-hal ideal apapun dari negeri lain diyakini dapat membawa Indonesia pada situasi yang lebih baik, setidaknya dapat memperkuat argumennya dalam bertransaksi ataupun dalam menggalang dukungan.
Pada sistem politik Indonesia atau layer bawah yang jauh lebih massive dibanding layer atas, pola interaksi dilandasi kepentingan bersama dan tidak selalu murni transaksional. Gotong-royong dan nilai-nilai luhur tradisi sangatlah mewarnai interaksi antar mereka. Sistem politik Indonesia adalah proses politik rakyat Indonesia yang sesungguhnya. Sistem yang terbentuk dari berbagai pengalaman sejarah ratusan tahun yang bersenyawa dengan pemahaman terhadap nilai-nilai kontemporer. Layer bawah ini cenderung invisible di mata media apalagi pengamat politik, sehingga untuk mengamatinya perlu terjun langsung dalam keseharian aktivitas masyarakat. Walaupun demikian, secuil data mereka dari ahli statistik dan pengamat politik tetaplah dapat dieksploitasi dan dimanipulasi untuk kepentingan tertentu.
Closing
Gambaran sederhana di atas mungkin sangat jauh dari lengkap dan intuitif. Saya sendiri perlu mendalami lebih lanjut dengan bergaul lebih dengan masyarakat luas untuk mengkonfirmasi/mengkoreksinya. Kira-kira demikianlah catatan saya berpolitik.