Mengapa Indonesia Timur?
Entah karena sebab apa, di sebelah timur Indonesia itu, negeri ini terlihat seperti yang digambarkan oleh para pendiri negara. Di wilayah timur inilah bangsa Indonesia lebih akrab dengan laut dan terlihat sebagai bangsa maritim. Di wilayah timur ini pula banyak keindahan negeri ini belum (mudah-mudahan tidak akan) rusak karena bangsa yang tidak bersyukur. Di sebelah timur itu juga negeri ini terlihat kekayaannya yang sangat-sangat berlimpah.
Namun di wilayah timur ini pula ironi sangat mudah ditemui. Sebagai penduduk negeri kepulauan, transportasi laut hampir sama sekali tidak berkembang kalau tidak mau dibilang primitif. Sebagai pemilik laut dan isinya yang sah, mereka (terpaksa) harus menonton penjarahan besar-besaran oleh asing yang didukung oleh otoritas militer dan sipil setempat (karena komisi) dan pembiaran oleh para penguasa negeri yang bercokol di sebelah barat. Warga sebagai pemilik kekayaan bumi yang sah, harus rela menonton saripati buminya dihisap sebesar-besarnya demi kemakmuran perusahaan asing dan sedikit presentasi legal dan ilegal buat para penguasa lokal dan nasional. Masih banyak lagi ironi yang bisa dilihat.. seperti juara olimpiade fisika dan lainnya.
Rezim Pasar Bebas dan Kemandirian Kawasan Indonesia Timur
Kajian kecil saya pada awal terbentuknya APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), merekomendasikan bahwa salah satu cara jitu untuk siap bersaing pada era pasar bebas adalah meningkatkan intensitas pasar domestik dan terus mengendalikan perkembangannya. Sayangnya para manusia yang disebut pejabat dan pakar ekonomi nasional lebih suka mendapatkan penghargaan organisasi dunia dan sedikit tunjangan-tunjangan dari vested interest dibandingkan dengan melakukan apa yang harus dilakukan yaitu memperkuat kemandirian pasar. Wajarlah bila pasar Indonesia menjadi bulan-bulanan produk-produk asing.
Bagaimana dengan pasar kawasan Indonesia Timur? Sejujurnya, relatif tidak ada pasar signifikan yang berkembang di Indonesia Timur. Wilayah Indonesia Timur adalah pusat eksploitasi tanpa batas bagi para pengusaha asing dan nasional. Saya rasa tidak ada ekonom yang berargumen bahwa kawasan tersebut tidak membutuhkan pasar yang mandiri, tetapi mereka mungkin lebih suka mengeksploitasi ketimbang memberdayakan, karena pasar pada prinsipnya adalah pemberdayaan melalui pembukaan peluang-peluang yang terjangkau.
Saat ini pasar hasil ekploitasi kawasan Indonesia Timur terjadi di beberapa tempat, seperti Surabaya, Jakarta ataupun Singapura. Untuk beberapa jenis komoditi, pasarnya dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan yang mengekploitasinya. Jadi wajar saja bila anda menemukan pasar produk perikanan Indonesia dikendalikan oleh Thailand.
Kira-kira kondisi seperti ini bisa diterima atau tidak?
Saya berpendapat, bahwa kondisi ini tidak etis dan harus diperbaiki. Indonesia Timur adalah bagian dari bangsa dan negara Indonesia yang sah yang berhak menggunakan kekayaan negeri ini untuk kemakmurannya. Pemberdayaan memang kata kunci, tapi pemberdayaan seperti apa? Pemberdayaan yang basa-basi atau tidak serius dapat dilihat sebagai suatu bentuk peredaman atau pembodohan yang pada akhirnya melanggengkan kondisi ini.
Salah satu alternatif yang jelas adalah lebih mengarah kepada kemandirian adalah pembentukan/peningkatan intensitas pasar kawasan.
Bagaimana bisa terjadi, kalau di kawasan itu sendiri tidak ada indutri yang hidup? Ya dihidupkanlah industrinya..
Industri apa? Industri apa saja.. Industri perikanan sudah harus ada.. Industri pesawat terbang dan perkapalan juga sudah harus ada bukan. Mengingat kawasan ini adalah kawasan ribuan pulau di mana tranportasi laut adalah INFRASTRUKTUR utama dari pasar tersebut.
Berikutnya, pengelolaan informasi dan komunikasi lah yang memungkinkan pasar ini terjadi. Artinya kawasan ini haruslah mempunyai media informasi yang seratus persen berperspektif kawasan. Pastinya kemudian konsultan-konsultan komunikasi dan bisnis akan bermunculan belakangan (mudah-mudahan bukan oportunis seperti konsultan pilkada yang menjamur saat ini).
marii ke indonesia timur..